9 November 2013

Kunjungan KP3 Wetlands di Pantai Baros


Semester genap kemarin, anggota KP3 Wetlands melakukan pengamatan di Baros yang terletak di Desa Tirtoharjo, Pandak, Bantul, Yogyakarta. Salah satu daya tarik kami memilih tempat ini adalah keberadaan  “taman” mangrovenya. Alasan penamaan taman dan bukan hutan, karena dari kondisi lokasi yang terlihat, dapat dikatakan tidak cocok untuk disebut sebagai hutan, karena ekosistem disana tidak menunjukkan sebuah ekosistem hutan mangrove.
Perjalanan kami tempuh ± 1 jam dari kampus. Sesampainya dilokasi, kami disambut oleh Mas Dwi, Ketua Keluarga Pemuda-Pemudi Baros. Keluarga Pemuda-Pemudi Baros  atau biasa disingkat dengan KP2B merupakan  perkumpulan pemuda-pemudi yang  mempunyai tugas untuk mengelola taman mangrove di Baros.
Dari pemaparan Dwi, kami memperoleh beberapa keterangan tentang Pantai Baros. Taman mangrove di Baros dibangun pada tahun 2003. Pembangunan taman mangrove ini diprakarsai oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) RELUNG, sebuah LSM dari Fakultas Kehutanan UGM. Pengelolaan taman mangrove kemudian diserahkan kepada KP2B pada tahun 2005. Mas Dwi menjelaskan bahwa tujuan awal dari dibangunnya taman Mangrove di Baros adalah untuk melindungi tanaman pertanian yang sering terkena pasang air laut. Sayangnya, banyak kendala yang dihadapi oleh KP2B dalam usaha pembangunan taman mangrove mulai dari susahnya memperoleh bibit yang unggul sehingga menyebabkan kegagalan penanaman, hingga adanya serangan penyakit pada musim-musim tertentu.
Jenis tanaman mangrove yang ada di Baros bervariasi dengan dominasi Rhizophora sp., Avicennia, Nypa, Soneratia, serta tumbuhan bawah derujon yang merupakan jenis endemik. Pengelolaan Pantai Baros dapat dikatakan berhasil karena telah ditemukannya ikan glodok, salah satu jenis ikan yang hanya bisa ditemui di daerah mangrove. Bentuk pengelolaan yang dilakukan di Pantai Baros meliputi penanaman, sarana wisata, serta dibukanya kesempatan untuk melakukan penelitian.  Hasil dari penelitian biasanya diperuntukkan untuk pengelolaan di Baros. Di Baros terdapat pula tambak kepiting, namun yang paling banyak dibudidayakan adalah kepiting soka.
Pada tahun 2012 silam, pernah diselenggarakan kegiatan penanaman dengan 37.000 bibit. Sayangnya, penanaman gagal karena timing-nya tidak tepat, yaitu di waktu air sedang pasang. Penanaman biasanya dilakukan oleh masyarakat maupun instansi pendidikan dari Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi, dan pemerintah baru memberikan perhatian kepada masyarakat apabila masyarakat sendiri yang melakukan aksi. Sebelumnya, pemerintah sama sekali tidak memberikan bantuan. Namun, sekarang banyak pihak yang membantu pengelolaan, baik dari pemerintah maupun LSM. Dari pengelolaan ini, Desa Tirtiharjo mendapat keuntungan mencapai sekitar 240 juta”, jelas Mas Dwi.
Kendala yang dialami KP2B dalam mengelola hutan mangrove bukan hanya dikarenakan kurangnya sarana prasarana. Justru kendala yang lebih sering menghambat adalah musim, kendala alami yang sulit untuk diatasi. Permasalahan tidak hanya dialami ketika musim hujan, tetapi juga ketika musim kemarau. Saat musim kemarau, lumut menjadi banyak karena air bening dan sinar matahari dapat menembus air. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan mangrove tidak bagus. Pernah suatu ketika, lumut sampai menutupi seluruh permukaan Sungai Opak. Kemarau juga membawa akumulasi pasir yang dibawa oleh angin. Musim hujan membawa permasalahan lebih banyak lagi, yaitu pasang yang lebih tinggi. Karena pasang tinggi, pasir terbawa arus dan menutup sungai. Hal ini ditanggulangi dengan mengeruk pasir yang terbawa arus agar tidak terjadi banjir dan air dapat mengalir ke laut. Saat pasang besar, bahkan alat keruk tidak berani masuk karena bahaya yang besar. Pada musim ini yang paling rutin adalah kedatangan banjir.
Pengelolaan dari segi wisata belum dapat dimaksimalkan, karena tujuan awal pengelolaan taman mangrove ini bukan untuk objek wisata. Namun, untuk kunjungan wisata, KP2B juga menyiapkan sarana perahu dan tempat camping. Seringkali pengunjung yang datang berasal dari kalangan instansi pendidikan. Mereka biasanya melakukan penelitian jenis, seperti penelitian tentang peningkatan jumlah individu dari berbagai spesies flora maupun fauna. Dari hasil penelitian, pengelola memaparkan bahwa jenis yang mengalami pertambahan paling banyak adalah burung. (Nurul_KP3 Wetland)

24 September 2013

KP3 Herpetofauna Herping di Way Kambas


Minggu, 8 September 2013 Kelompok Pengamat Peneliti Pemerhati (KP3) Herpetofauna melakukan pengamatan di salah satu rawa di resort Way Kanan , Taman Nasional Way Kambas. Pengamatan tidak hanya dilakukan oleh kelompok studi KP3 H saja, tetapi juga dilakukan bersama dengan kelompok studi yang lain yang berada di bawah naungan Forestation FKT UGM, seperti KP3 Burung,  Primata, Ekowisata dan KP3 Wetland. Kegiatan pengamatan untuk tiap-tiap kelompok studi ini sudah diagendakan didalam satu rangkaian kegiatan Forestation UGM yaitu “Jelajah Konservasi goes to Way Kambas” yang dilakukan mulai 6-11 September 2013.
Di acara Jelajah Konservasi ini, setidaknya ada 9 anggota aktif KP3 Herpetofauna yang ikut, sehingga memudahkan dalam koordinasi saat pengamatan dimulai. Yang ikut dalam pengamatan KP3 Herpetofauna ini adalah Arok (koor KP3 H), Ikhwan, Siti Harjanti, Dewi, Yuniar, Andoek, Dayat, Nadia, Yosi, dan Tedi. Untuk Tedi, ini adalah kali pertama dia ikut herping, karena sebelumnya tergabung dalam KP3 Ekowisata. Saat ditanya alasannya, Tedi menjawab, bahwa dia tertarik dan ingin tahu bagaimana KP3 H saat melakukan pengamatan langsung dilapangan.   
  Jam sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB, rombongan KP3 Herpetofauna segera bersiap untuk melakukan pengamatan, karena pemandu kami sudah memberi arahan bahwa di dekat sungai banyak terdapat herpetofauna berupa amphibi dan reptil (berupa ular) 'jika beruntung'. Hampir setengah jam lamanya, kami menyusuri sungai namun hasilnya nihil. Ini terjadi karena dari kami sendiri memang menyadari, bahwa herpetofauna adalah hewan nocturnal, mereka baru akan keluar saat malam hari dan sangat sulit untuk ditemui meski saat petang menjelang. Akhirnya kamipun menunda waktu pengamatan sampai petang datang.
Dalam pengamatan ini ternyata kami sedang beruntung, karena salah seorang yang sebelumnya selalu mengantar kami menggunakan truk, yaitu pak Dedi, ternyata seorang pawang ular, dan cukup paham lokasi-lokasi mana saja yang banyak terdapat reptil dan amphibi di Way Kanan ini. Akhirnya kami diantar menggunakan truk menuju sebuah rawa di Way Kanan. lokasi tersebut kami tempuh sekitar 15 menit dari kantor Way Kanan, dan sesampainya disana kami menunggu sampai petang terlebih dahulu dan menunggu suara satwa seperti katak mulai berbunyi. Sembari menunggu petang datang, pak Dedi sedikit menceritakan pengalamannya dulu saat menjadi pawang ular, bagaimana trik saat berhadapan dengan ular, penanganan saat digigit ular di hutan dan perlengkapan sederhana yang perlu dibawa saat masuk hutan, dan banyak hal lainnya yang beliau bagikan kepada kami. Diskusi ini sangat berarti untuk kami, selain untuk mengisi waktu kosong saat itu, juga menambah wawasan kami, terlebih saat berada di hutan.
Saat yang kami tunggu akhirnya datang, petang mulai datang dan suara katak mulai terdengar, kamipun segera mulai melakukan ‘herping’. Metode pengamatan yang kami gunakan dalam pengamatan ini adalah Visual Encounter Survey atau sering disebut dengan VES. Ini adalah metode pengamatan dilapangan yang dibatasi oleh waktu. sebagai ilustrasinya, dilapangan kita diberi waktu 20 menit untuk mencari spesies herpetofauna dilapangan, sehingga, jika waktu 20 menit tersebut sudah habis maka pengamatan kita hentikan, jika kita masih ingin melanjutkan pengamatan, baru nanti kita lanjutkan lagi namun dibatasi waktu yang sama yaitu 20 menit. Metode ini adalah salah satu metode yang sering kami gunakan saat pengamatan.
Waktu yang kami gunakan untuk pengamatan kali ini adalah 50 menit, dan kami terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang berada disebelah kanan dan kiri sisi rawa. Pukul 19.00 WIB, kami selesai ‘herping’ yang kemudian segera bergegas untuk kumpul kembali dengan teman-teman dari kelompok studi lain, seperti KP3 Burung, dan lainnya yang sudah menunggu kami di kantor Way Kanan. Karena terbatasan waktu, kami kemudian memilih untuk melakukan identifikasi di base camp kami, yaitu Plang Ijo yang jaraknya sekitar 13 km dari Way Kanan. Kemudian kami melakukan identifikasi  selama hampir 2 jam di base camp, mulai pukul 21.45 – 23.30 WIB. Dari identifikasi yang kami lakukan, kami menemukan 11 individu katak (amphibi), yang terdiri dari 4 spesies, yaitu :
No
Jenis
Jumlah
1
Philautus sp.
1
2
Rana nicobariensis
4
3
Polypedates leucomystax
1
4
Rana erythraea
5
Untuk jenis Philautus sp. Kami kemarin belum berhasil mengidentifikasi secara detail, namun kami sudah mengetahui bahwa spesies tersebut masuk kedalam famili Rhacoporidae. Dari semua jenis katak yang kami peroleh, kebanyakan berada di lumpur, di seresah, dan aktivitasnya sedang diam. Kami cukup senang dengan hasil herping yang kami peroleh kemarin, karena meski dengan waktu yang cukup singkat, kami bisa mendapatkan beberapa jenis katak. Hal itu menandakan bahwa kekayaan jenis herpetofauna di Way Kambas cukup tinggi, karena TN Way Kambas ini merupakan kumpulan dari 5 tipe ekosistem hutan, mulai dari riparian, rawa, mangrove, pantai, dan hutan hujan tropis. Namun kami juga sedikit kecewa, karena kami tidak mendapatkan satupun reptil saat pengamatan tersebut.
Namun, keesokan harinya (9/9/13), saat kami mengunjungi PKG yaitu Pusat Konservasi Gajah, tidak sengaja, Arok menemukan satu jenis reptil, yaitu Draco sumatranus, sekitar pukul 10.00 WIB, didekat kolam pemandian gajah dan aktivitasnya sedang diam menunggu mangsa. Kekecewaan kami karena tidak menemukan reptil pada pengamatan sebelumnya cukup terobati, dengan penemuan satu jenis reptil ini.


Berikut adalah dokumentasi saat pengamatan di TN Way Kambas
Persiapan sebelum herping @way kanan
Proses identifikasi @plang ijo
Rana nicobariensis

Philautus sp.
Draco sumatranus
Polipedates leucomystax
Rana erythraea

Total yang kami dapatkan dari kunjungan singkat di Way Kambas ini, kami menemukan 4 jenis katak, dan 1 jenis reptil. Hasil yang cukup membanggakan dan harapannya dapat dilakukan inventarisasi satwa terutama jenis herpetofauna di TN Way Kambas, karena masih terbatas informasi yang disediakan dan masih minim pengamatan atau penelitian mengenai herpetofauna disini. Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam pengamatan yang kami lakukan saat di TN Way Kambas. (Ikhwan_KP3H)

KP3 Herpetofauna Herping @Turgo

Jum’at, 20 September 2013 KP3 herpetofauna melakukan pengamatan (herping) dengan lokasi di daerah Turgo. Personel yang ikut dalam pengamatan kali ini ada 14 orang, yaitu Arok, Yuniar, Ikhwan, Roi, Edo, Bambang, Aim, Dennis, Dhiba, Epek, Mbak Ari, Mbak Via, Mas Agus dan Mas Cahyandra. Didalam pengamatan ini setidaknya ada dua hal yang spesial. Pertama, karena dalam pengamatan ini ada dua personel dari KP3 selain herpetofauna yaitu Roi (koor KP3 Wetland) dan Epek (anggota KP3 Burung), dan kedua dalam pengamatan kali ini mas Cahyandra bersedia menemani kami dalam pengamatan ini. Sebelum berangkat, kami berkumpul di Taman Timur Kehutanan, untuk menunggu siapa saja yang akan ikut dalam pengamatan ini. Setelah menunggu sekitar satu jam, saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 19.10 WIB, kami segera memutuskan untuk berangkat, karena jumlah personil yang akan ikut sudah lengkap juga. Perjalanan menuju turgo kami tempuh sekitar 55 menit dan pukul 20.05 WIB kami sampai di basecamp Turgo dan kemudian memulai tracking untuk herping.
Metode yang kami gunakan dalam pengamatan ini adala VES,dengan waktu 2 jam. Saat waktu 2 jam yang ditentukan sudah hampir habis, saat itu tepatnya pukul 21.50 WIB, kami segera memutuskan untuk segera menyudahi herping, dan melanjutkan proses selanjutnya yaitu dengan melakukan identifikasi. Pengamatan di turgo kali ini, kami memilih 2 jalur tracking dari 3 jalur yang tersedia, yaitu dengan melewati daerah Siraman wadon, dan Candi, untuk Siraman Lanang, kami tidak melewati daerah tersebut untuk pengamatan, karena keterbatasan dengan waktu yang sudah larut malam saat itu. Herping selesai didaerah Candi, dekat sumber air.  Identifikasi yang kami lakukan sekitar satu jam dan selesai pukul 23.05 WIB dan total menemukan 13 individu, yang terdiri dari Rana chalconota (6 individu), Rhacophorus javanus (4 individu), Cyrcodactilus mormoratus atau cicak batu (2 ekor), dan Limnonectes kuhlii (1 individu dan masih juvenil).
 Selain itu dalam pengamatan kali ini kami juga menemukan dua kecebong (berudu), yang menurut prediksi kami adalah Limnonectes kuhlii, karena saat ditemukan, berdekatan dengan penemuan jouvenil Limnonectes kuhlii. Secara keseluruhan spesies yang kami temukan berada di daun, didekat sumber air, dan tangkai atau batang daun, dalam kondisi yang sedang diam.
Hanya sedikit yang di temukan di daerah Siraman wadon, karena masih di musim kemarau dan keadaannya cukup kering, serta hanya ada satu embung kecil yang ada di sudut jalan. Sehingga di awal-awal pengamatan, kami cukup kesulitan untuk menemukan herpetofauna disini, dan hanya bisa mendengar suaranya saja. Sedangkan di daerah Candi satwa yang banyak ditemukan berada di sekitar aliran air dan dahan atau daun di dekat air.  Hasil yang kami peroleh ini cukup memuaskan, karena meski dalam musim kemarau, masih cukup banyak spesies yang kami temukan. (Ikhwan_KP3H)

4 Juni 2013

Kunjungan KP3 Herpetofauna ke Samas


“ saya disini ya, berusaha semampu saya  untuk mengelola tempat ini mas, alhamdulilah sekarang kerjaannya jadi lebih ringan karena  masyarakat sudah mulai peduli dengan tempat pembesaran tukik ini…” 

Itu adalah salah satu cuplikan wawancara kami (rombongan KP3 Herpetofauna ) dengan Bapak Rujito, selaku pengelola Tempat pembesaran tukik di Samas, saat kami berkunjung disana kemarin hari minggu, 2 Juni 2013.

Kunjungan ini merupakan realisasi dari materi minggu lalu tentang “Testudinata” yang disampaikan oleh Mbak Febri (KSDH 2010). Kunjungan ke Samas kali ini diikuti oleh 25 orang dengan rincian 15 orang dari anggota KP3 H dan 10 lainnya berasal dari luar KP3 H , seperti Roi dan Rena yang berasal dari KP3 Wetland. Sebelum berangkat menuju lokasi kami melakukan briefing sebentar di Tamtim , kemudian setelah selesai briefing sekitar jam 14.00 WIB kita bersama-sama berangkat. Meski diawal perjalanan turun hujan, tapi tidak menyurutkan niat kami untuk tetap melanjutkan perjalanan kesana.

Singkat cerita sekitar  kurang lebih satu jam kemudian kami sampai di rumah Bapak Rugito dan langsung menuju ke lokasi tempat pembesaran tukik yang jaraknya sekitar 20 meter dari rumah beliau. 5 menit kemudian Bapak Rugito langsung menuju ke tempat pembesaran tukik yangkami kunjungi. Beliau langsung saja mempersilahkan kami untuk bertanya mengenai tempat ini dan beliau dengan senang hati menjawabnya.
***

Asal mula tempat ini ada yaitu berawal pada tahun 2002 dengan di bentuknya Forum Konservasi Penyu Bantul . Untuk dana dan prasarana yang ada dilokasi ini berasal dari BKSDA dan donator-donatur yang peduli tentang penyu. Selain itu diawal-awal rehapan tempat ini juga dibantu oleh WHH. Kemudian pada tahun 2012, tempat ini mendapat sedikit angin segar, karena adanya anggaran jasa pengganti telur untuk tempat ini. Besarnya anggaran telur ini diberikan sebesar Rp 100.000,- per bulannya. Namun meskipun dana tersebut cukup membantu , sayangnya dana tersebut pemberiannya dengan cara dirapel, jadi cairnya setiap 4 bulan sekali.  Untuk lokasi pembesaran tukik , selain ditempat ini, juga ada di tempat lain yaitu seperti di Waru dan Pandan Simo.Untuk awal pembangunan tempat pembesaran / konservasi tukik ini meski diberi dana dalam jumlah yang banyak, namu hal itutidak menjamin keberlangsungan tempat tersebut selalu ada. Kita harus benar-benar peduli dan mau merawat tempat tersebut dengan begitu keberadaan tempat seperti pembesaran tukik ini dapat terjamin.

Disini selain sebagai tempat pembesaran tukik, juga merupakan tempat untuk penetasan telur tukik. Penetasan telur disini merupakan semi alami. Pembesaran tukik disini biasanya sampai tiga bulan, namun terkadang untuk kepentingan pendidikan dan terkadang juga permintaan dari BKSDA untuk menahan penyu agak lama dilokasi pembesaran tukik ini, sehingga terkadang setelah enam bulan  atau bahkan satu tahun tukik baru dilepas.

Untuk mengetahui kapan penyu itu mendarat dan bertelur, ternyata Bapak Rujito ini sudah sangat berpengalaman dan sudah tahu betul kapan waktunya dan didaerah mana lokasi telur penyu itu berada. Usut punya usut, ternyata bapak Rujito ini dulunya seorang pemburu telur penyu. Namun setelah menyadari bahwa hal yang dilakukan itu bertentangan dan jika dihitung secara matematis justru merugikan, beliau menghentikan kegiatan tersebut. Merugikan disini karena beliau mengumpulkan banyak telur kemudian memberikannya ke BKSDA , upah yang diterima ternyata sedikit, beliau bercerita hanya sekitar Rp 50.000,- sampai Rp 100.000,- . sedangkan resiko yang harus dihadapi sangatlah besar, selain itu juga dari pihak BKSDA nya juga meminta para pemburu yang sebelumnya mengumpulkan telur tersebut, harus melepaskan telur yang menetas tadi.

Di Samas ini , pernah ada 4 jenis penyu yang mampir disini. Penyu tersebut yaitu penyu lekang, sisik, hijau dan belimbing. Penyu lekang adalah penyu yang paling sering mampir disini , sedangkan penyu yang jarang mampir yaitu penyu sisik. Mengapa ??? Karena penyu sisik menyukai karang, dan di Samas jauh dari karang. Penyu belimbing dan penyu hijau sering mampir pada awal januari sampai akhir februari, dan untuk jenis penyu lekang sering mampir pada bulan mei sampai agustus.

Penyu yang ada dilokasi saat ini ada 4 ekor, beberapa minggu sebelum kunjungan kami, ditempat ini baru saja melepas satu ekor penyu lekang. Dan program pelepasan penyu ini juga akan dilakukan , rencananya pada bulan juli besok bersama BKSDA. Untuk kendala yag dihadapi dalam pengelolaan ini, terkait masalah dana, juga mengenai masalah makan dan juga air. Untuk makan sendiri setiap harinya Pak Rujito harus menyediakan ikan , untuk masalah air, yaitu air untuk tempat penyu ini harus diganti setiap 4 hari sekali. Dulu beliau memang cukup kesulitan dan kerepotan mengenai masalah air ini, namun sekarang ini masalah tersebut mulai mendapat pencerahan, karena masyarakat sekitar terutama para pelajar didaerah tersebut mulai menyadari pentingnya keberadaan penyu dan karena itu mereka saling bahu membahu membantu pekerjaan pak Rujito untuk mengganti air .



Foto bareng pak Rujito di lokasi kolam pembesaran tukik @Samas

Penyu lekang di tempat pembesaran tukik


Demikian kunjungan yang kami lakukan kali ini, semoga kita dapat mengambil hikmah dari kegiatan atau kunjungan kali ini. (Ikhwan_KP3H)

Quote :

mungkin kamu bisa mendapat ilmu dari dalam kelas, namun ketika kamu bisa mendapatkan ilmu itu secara langsung dilapangan dan dari sumber ilmunya langsung, maka betapa beruntungnya kamu bisa mendapatkan itu semua, dan yang harus kita lakukan adalah bersyukur dan berusaha memahami kondisi yang terjadi disekitar kita dan berusaha mengamalkan ilmu yang sudah kita punya ”.

Ikhwan, 4 Juni 2013

21 Mei 2013

Peralatan Untuk Pengamatan Herpetofauna

Salam Herpet,

Salam semangat dariku kepada sahabat herpetofer semua, gimana kabarnya..? baik kan..? Semoga saja dalam keadaan yang baik, selalu berada dalam perlindungan dan pertolongan Nya.. (amiiin). Setelah sebelumnya kita membahas sedikit mengenai teknik sampling dalam pengamatan herpetofauna, kali ini kita akan membahas elemen penting lainnya saat pengamatan herpetofauna, yaitu peralatan yang digunakan dilapangan. Jadi, untuk melakukan pengamatan atau bahasa kerennya 'herping', biasanya kita diwajibkan membawa peralatan standar sesuai dengan SOPH (Standar Operasional Pengamatan Herpetofauna). Peralatan standar tersebut meliputi timbangan, jangka sorong & penggaris, kantong plastik, buku identifikasi, tallysheet/buku catatan, dan kamera.

  • Timbangan 
Timbangan digunakan untuk menimbang spesimen yang kita tangkap. Dengan menimbang beratnya kita dapat mengetahui spesimen tersebut sudah termasuk dalam kategori katak dewasa atau masih muda (jouvenil), selain itu juga jika kita belum mengetahui identitas dari suatu katak, maka kita dapat menggunakan berat badan ini sebagai patokan bahwa katak ini itu masuk dalam kriteria katak jenis apa.
  • Jangka Sorong & Penggaris 
Disini jangka sorong atau biasa disebut kaliper digunakan untuk mengukur satuan panjang spesimen. Yang diukur biasanya TL untuk reptil, dan SVL untuk amphibi. TL atau biasa disebut Total Length adalah pengukuran panjang spesimen (Reptil) mulai dari moncong (ujung kepala) sampai dengan ekor, sedangkan SVL atau Snout Vent Length mengukur panjang spesimen dari moncong (ujung kepala) sampai kloaka. satuan yang digunakan biasanya cm atau mm. Biasanya yang dibawa saat pengamatan itu jangka sorong (kaliper) bukan penggaris biasa, mengapa demikian..? Soalnya kaliper itu ketelitiannya jauh lebih detail dan teliti dari pada penggaris biasa. Tetapi untuk teman-teman herpetofer yang belum ada kaliper dalam pengamatannya, boleh juga kok pakai penggaris, tetapi di usahakan untuk pengamatan berikutnya menggunakan kaliper tujuannya supaya data yang diperoleh memiliki keakuratan yang tinggi dan data tersebut bisa dipertanggungjawabkan .
  • Kantong Plastik 
kantong plastik disini digunakan sebagai tempat spesimen yang kita tangkap saat pengamatan. Jadi biasanya kantong plastik ini digunakan ketika kita dilapangan mendapat spesimennya berupa kodok, katak, atau cicak batu, tetapi kalau spesimen yang kita dapat berupa reptil (ular, kadal) biasanya kita menggunakan kantong/karung, tujuannya karena dengan menggunakan kantong/karung jauh lebih efisien, mudah memasukkan spesiesnya, simpel dan juga lebih aman pastinya jika dibandingkan kalau kita menggunakan kantong plastik sebagai wadah ular atau kadal.
Tetapi perlu teman-teman herpetofer ingat, ketika pengamatan sudah selesai, spesimen yang sebelumnya sudah kita tangkap tolong dilepas lagi, agar mereka juga dapat melangsungkan kehidupannya dan juga sampah plastik bekas kantong plastik yang kita gunakan untuk menangkap spesimen tadi, jangan dibuang di sembarang tempat, buang di tempat sampah, karena kita juga harus peduli dengan kondisi lingkungan disekitar kita.
  • Buku identifikasi 
Buku ini digunakan untuk mencocokkan spesies yang kita dapatkan itu masuk ke dalam jenis apa. Biasanya saat pertama kita menemukan spesies dilapangan, kita belum tahu dia itu masuk jenis apa, dengan ciri-ciri yang terlihat dari spesies tersebut, kemudian kita bandingkan dengan yang ada di buku identifikasi, sehingga nanti bisa diketahui spesies tadi masuk dalam jenis yang mana atau termasuk famili apa. Oleh karena itu, buku identifikasi ini sangat penting dan harus dibawa saat pengamatan dilapangan.
  • Tallysheet/buku catatan 
Tallysheet/buku catatan ini digunakan untuk mencatat spesies apa saja yang kita dapatkan disana (lapangan). Tallysheet ini digunakan sebagai rekaman data yang kita peroleh disetiap pengamatan yang kita lakukan. Nah, biasanya yang dicatat dalam tallysheet yaitu nama jenis spesimennya, waktu dan tempat ditemukan, aktivitasnya, ukuran SVL (snout vent length)/ TL (total length) , termasuk anak-anak/jouvenil atau sudah dewasa, jumlahnya berapa dan sebagainya. Jadi tallysheet ini sangat penting dalam setiap pengamatan yang dilakukan. Pada suatu materi mbak Dayu pernah berpesan, “ jika kalian pengamatan gk bawa standar alat yang udah ditentukan sebagai perlengkapan semisal tallysheet mending gk usah pengamatan saja, itu kalian namanya main-main aja ”.
  • Kamera 
Kamera juga merupakan peralatan penting yang harus dibawa saat kita pengamatan di lapangan. Hal ini karena, selain sebagai bukti dokumentasi, untuk memperkuat data hasil pengamatan. Jadi dari setiap pengamatan selain di peroleh data berupa tertulis, juga ada data berupa foto/gambar. Selain itu juga, ketika kita mengalami kesulitan saat melakukan identifikasi dilapangan, dan waktu yang sudah dirasa tidak memungkinkan untuk melanjutkan pengamatan, maka dengan kamera spesimen yang kita dapatkan tadi bisa kita tanyakan saat berada di kampus untuk ditanyakan kepada senior atau dosen yang paham dengan herpetofauna.

Selain peralatan standar tadi, kita juga perlu membawa peralatan tambahan lain seperti senter, alat navigasi (GPS & kompas) dan perlu juga untuk mempersiapkan obat-obatan pribadi dan peralatan p3k sebelum ke lapangan.

Kenapa kita harus bawa senter???
Karena kebanyakan herpetofauna (amphibi dan reptil) aktif pada malam hari, jadi senter adalah alat utama untuk pengamatan herpetofauna . Alat navigasi (GPS & kompas) disini digunakan untuk mencatat koordinat kita, saat melakukan pengamatan dan juga dapat digunakan untuk menentukan arah mana yang kita ambil saat pengamatan. Tetapi alat navigasi ini sifatnya “makruh” maksudnya boleh dibawa, boleh tidak, tergantung tempat yang kita gunakan untuk pengamatan dan juga tujuan pengamatannya. Jika pengamatannya di tempat yang tidak kita ketahui dan tujuan pengamatan tersebut juga untuk mengetahui koordinatnya atau untuk kelengkapan data maka alat navigasi ini perlu dibawa, begitu juga sebaliknya. Dan yang paling penting yang biasanya terlupakan adalah sebelum melakukan pengamatan kita harus memastikan kondisi si pengamat harus dalam keadaan fit, hal ini bertujuan agar saat dilapangan nanti tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan semisal pingsan, dan lain sebagainya.


Jadi, sebelum kita melakukan pengamatan dilapangan, siapkan dan cek peralatan apa saja yang harus dibawa, dan juga pastikan semua anggota yang melakukan pengamatan mampu menggunakan peralatan yang dibawa. (Ikhwan_KP3H)

20 April 2013

Teknik Sampling Pengamatan di Lapangan


Jum’at sore kemarin, tepatnya pada tanggal 19 April 2013, kepengurusan KP3 Herpetofauna periode 2013-2014 mengadakan pembekalan (materi ) perdana kepada para anggota KP3 H 2011 dan 2012. Pertemuan perdana ini membahas mengenai Metode Penelitian .Alasan dari metode penelitian ini diperkenalkan di pertemuan perdana, karena dalam pengamatan di lapangan sangat diperlukan pengetahuan bagi si pengamat sebelum terjun langsung dilapangan, karena jika tidak mempunyai bekal yang cukup, ditakutkan nanti saat dilapangannya akan terjadi kebingungan. Kebingunan yang dimaksud disini adalah mereka tidak atau kurang paham apa saja yang akan dilakukan saat pengamatan, kemudian ketika bertemu dengan obyek yang dicari (amphibi atau reptil) takutnya bingung bagaimana memperlakukan obyek tersebut. Dengan pembekalan mengenai metode penelitian ini, diharapkan nantinya dilapangan mereka sudah paham, mengerti dan mempunyai gambaran yang jelas tentang apa saja yang harus dilakukan dan metode apa yang cocok untuk digunakan saat pengamatan dilapangan.
Materi metode penelitian ini disampaikan oleh mbak Dayu (KSDH 2009). Dihadiri oleh 17 orang, yakni dari angkatan 2011 sebanyak 6 orang, 2012 sebanyak 10 orang dan angkatan 2010 sebanyak 1 orang (mbak Pipin). Di pertemuan ini, mbak dayu menjelaskan secara detail mengenai teknis dilapangan saat melakukan pengamatan, mulai dari alat, kapan waktu yang tepat, buku yang dipakai, cara mengidentifikasi, sampai dengan teknik  sampling yang digunakan saat pengamatan dilapangan.
Di materi metode penelitian ini mbak Dayu menekankan, bahwa salah satu yang harus diperhatikan saat pengamatan dilapangan adalah mengenai teknik sampling yang digunakan. Teknik sampling disini maksudnya adalah suatu cara yang digunakan saat pengamatan dengan tujuan untuk mendapat data herpetofauna yang ada. Teknik Sampling ada dua macam, yaitu Sampling secara langsung dan tidak langsung.

v  Teknik sampling langsung
Teknik sampling langsung ini, seperti namanya yaitu ”langsung”, jadi teknik ini digunakan saat kita melakukan pengamatan dilapangan bertemu dengan spesiesnya secara langsung. Teknik sampling langsung ini ada empat cara yaitu Road cruising, VES, Quadrat sampling dan transek garis.

Ø  Road cruising (mengeksplore jalan)
Biasanya yang tidak mau capek karena harus berjalan kaki, jadi melakukan pengamatannya bisa dilakukan sambil berkendara entah itu naik sepeda, motor, ataupun mobil. Teknik ini memiliki keuntungan yaitu mudah, cepat dan tidak capek, namun kelemahannya yaitu terbatas tempatnya. Masudnya adalah pengamatannya terbatas hanya di jalanan tertentu saja yang bisa dilewati oleh kendaraan yang kita gunakan.
Ø  VES (visual encounter survey)
VES ini adalah teknik yang cukup mudah, yaitu pengamatan yang mengunakan waktu sebagai acuan. Teknis dilapangannya yaitu pengamatan dilapangan namun dibatasi oleh waktu. contoh ilustrasi : dilapangan kita diberi waktu 20 menit untuk mencari spesies herpetofauna dilapangan, jadi kalau waktu 20 menit tersebut sudah habis maka kita pengamatan yang kita lakukan harus dihentikan, jikalau masih ingin melanjutkan lagi, baru nantinya diteruskan, namun dibatasi dengan waktu yang sama seperti diawal pengamatan tadi yaitu 20 menit. Kami (KP3 Herpetofauna) sering menggunakan teknik ini saat pengamatan dilapangan.
Ø  Quadrat sampling
Seperti namanya “kuadrat” jadi pengamatannya dilapangan dengan cara membuat plot kuadrat di beberapa tempat dan kemudian melakukan pencarian intensif di dalam plot-plot tersebut. Ukuran plotnya mulai dari 2m x 2m sampai yang paling besar yaitu 10m x 10m.
Ø  Transek garis
Metode ini digunakan untuk menjangkau areal yang luas dengan waktu yang relatif singkat. Jika kita terbatas dengan masalah dana, waktu dan personil (pengamat), teknik ini merupakan salah satu metode terbaik untuk digunakan.
v  Teknik sampling tidak langsung
Taknik sampling tidak langsung yang biasa dipakai adalah drift-fenced pitfall trap atau nama kerennya adalah jebakan. Jadi untuk mendapatkan data saat pengamatan, terlebih dahulu kita membuat jebakan ditempat-tempat tertentu yang biasa dilalui dari satwa herpetofauna. Jebakan tersebut kita buat saat malam hari, dan baru kita periksa saat keesokan harinya. Teknik ini memiliki beberapa kelemahan yaitu butuh waktu yang lama untuk mendapatkan data dan biaya yang cukup mahal untuk mempersiapkan jebakannya .
Di akhir pertemuan, mbak Dayu juga memberi semacam kepelatihan kepada anggota KP3 H angkatan 2012 untuk mengidentifikasi gambar katak (*yang setelah diidentifikasi ternyata spesies Rana chalconota).  Tujuan dari pelatihan tersebut adalah untuk melatih skill dalam identifikasi menggunakan buku identifikasi agar nantinya memudahkan menggunakan buku tersebut dilapangan. (Ikhwan_KP3H)

14 April 2013

HERPETOFAUNA


    Kata Herpetofauna secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu “herpeton”yang berarti melata dan “fauna” yang berarti binatang. Herpetofauna dapat diartikan sebagai binatang-binatang yang melata. Herpetofauna merupakan binatang berdarah dingin (poikilotermik). Binatanmg ini menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu lingkungannya. Herpetofauna berdasarkan beberapa ciri yang berbeda dan mencolok diklasifikasikan menjadi 2 kelas yaitu, kelas amphibia dan reptilia. Kedua kelas herpetofauna tersebut dibagi-bagi lagi menjadi beberapa Ordo yang kemudian menjadi beberapa  famili.

Gambar Reptilia dan Amphibia

1.     Amphibi 
           Amphibi merupakan hewan yang hidup di 2 habitat atau alam, yaitu perairan dan daratan. Herpetofauna yang satu ini memiliki kelembaban kulit yang tinggi dan tidak tertutupi rambut. Kata amphibi sendiri berasal dari kata “amphi” yang berarti ganda dan “bios” yang berarti hidup. Secara asal kata, amphibi didefinisikan sebagai hewan-hewan melata yang dapat hidup di dua alam. Kelas herpetofauna ini dibagi menjadi 3 ordo yang masih ada hingga sekarang, yaitu Caudata(amphibi berekor), Anura(amphibi tidak berekor), Gymnophiona(amphibi tidak bertungkai).

         
Caudata
Caudata  merupakan ordo amphibia yang memiliki ekor. Jenis ini memiliki tubuh yang panjang, memiliki anggota gerak dan tidak memiliki tympanum(seperti telinga pada manusia). Beberapa species Caudata mempunyai insang dan lainnya paru-paru. Kemudian ada juga yang dapat bernafas menggunakan kulit. Tubuhnya terdiferensiasi antara kepala, tubuh dan ekor. Pada bagaian kepala terdapat mata yang kecil dan pada beberapa jenis, mata mengalami reduksi(Fajar Suprianto, 2009). Umumnya ordo ini lebih dikenal sub-ordonya yaitu Salamandroidea atau Salamander. Sebenarnya masih ada 2 sub-ordo lain(Sirenidea dan Cryptobranchoidea), tapi jenis ini yang paling sering ditemukan.

Katak pohon, salah satu anggota Anura
           Anura merupakan amphibia yang tidak berekor(dewasa). Namun pada siklus hidupnya, ordo Anura atau yang lebih dikenal dengan katak ini memiliki ekor saat pada fase juvenile(muda, berudu/kecebong). Ordo ini sering dijumpai dengan tubuhnya seperti sedang jongkok. Tubuhnya terdiferensiasi menjadi 3 bagian yaitu kepala, badan, dan anggota gerak(2 pasang tungkai=tetrapoda). Kulitnya cenderung basah karena memiliki kelenjar lendir dibawah kulitnya. Anura sendiri sering dibagi menjadi istilah katak dan kodok. Ciri yang paling mencolok adalah tekstur kulitnya, dimana kulit katak lebih halus dari kodok juga bentuk tubuh katak yang lebih ramping daripada kodok. Ordo ini hidup dapat hidup di dua tempat yaitu pepohonan(arboreal) dan daratan yang termasuk kedalamnya sumber air(terestrial).

          Gymnophiona  merupakan amphibia yang umumnya tidak memiliki anggota gerak dan beberapa jenis alat geraknya tereduksi secara fungsional. Tubuh menyerupai cacing (gilig), bersegmen, tidak bertungkai, dan ekor mereduksi. Hewan ini mempunyai kulit yang kompak, mata tereduksi, tertutup oleh kulit atau tulang, retina pada beberapa spesies berfungsi sebagai fotoreseptor. Di bagian anterior terdapat tentakel yang fungsinya sebagai organ sensory. Kelompok ini menunjukkan 2 bentuk dalam daur hidupnya. Pada fase larva hidup dalam air dan bernafas dengan insang. Pada fase dewasa insang mengalami reduksi, dan biasanya ditemukan di dalam tanah atau di lingkungan akuatik(Fajar Suprianto, 2009).

2. Reptilia 
          Reptilia merupakan kelas Herpetofauna berukuran besar yang ebagian besar merupakan hewan tetrapoda kecuali bangsa Ophidia (ular). Kelas ini memiliki ciri khas yaitu tubuh yang ditutupi oleh sisik (bersisik). Reptil dibagi menjadi 4 ordo yaitu Testudinates, Crocodylia, Sphenodontia, dan Squamata.
salah satu jenis testudinata (Penyu)

           Testudinates  merupakan ordo reptil yang memiliki cangkang sebagai tempat berlindung maupun menjadi bagian tubuhnya. Cangkang tersebut terbagi menjadi 2 yaitu karapaks pada bagian atas dan plastron sebagai perisai dada. Yang masuk ke ordo ini adalah segala jenis kura-kura dan penyu.



Buaya muara
          Crocodila  merupakan ordo yang mencakup reptil yang berukuran paling besar diantara yang lain. Kulitnya ditutupi oleh sisik sisik dari bahan tanduk yang termodifikasi bentuknya menjadi seperti perisai. Buaya memiliki jantung yang terbagi menjadi 4 ruang, namun sekat ventrikel kanan dan kiri tidak sempurna membatasi darah. Sehingga terjadi pencampuran darah. Pola perilakunya yang paling mencolok adalah ordo ini sangat suka berjemur di siang hari untuk menaikkan suhu tubuhnya. Crocodilian merupakan hewan nokturnal, tapi tidak menutup kemungkinan bangsa ini berburu di siang hari. Di habitatnya, buaya dewasa memiliki daerah kekuasaan untuk dirinya sendiri maupun untuk kelompoknya. Ordo ini dibagi menjadi tiga famili, antara lain famili alligatoridae, famili crocodylidae, famili gavialidae.

   
kadal
  Sphenodontia merupakan ordo reptil yang anggotanya merupakan kadal-kadal purba. Salah satu contohnya adalah Tuatara. Hewan ini hanya tersisa dua jenis di dunia dan merupakan species endemik di Selandia Baru. Selain itu, kadal ini merupakan bukti peninggalan zaman dinosaurus yang hidup pada 200 juta tahun yang lalu.       
     
Ular kobra
Squamata  merupakan ordo reptil yang mengalami pergantian kulit atau sisik secara periodic (molting). Tubuhnya ditutupi oleh sisik yang terbuat dari bahan tanduk. Squamata sendiri diklasifikasikan menjadi tiga sub-ordo, yaitu Sauria. Ophidia (bangsa ular-ularan), dan Amphisbaenia (squamata tak bertungkai, sisik tersusun seperti cincin-cincin; sering disebut dengan  worm-like lizar. 

Sumber :Diktat Herpetofauna, 2011


23 Maret 2013

Memilih Nahkoda Baru KP3 Herpetofauna

Oleh Ikhwanudin Rofi'i di KP3 Herpetofauna UGM

Pada malam itu, tepatnya pada hari kamis tanggal 21 Maret  2013 pukul 20.20 WIB kami, para anggota KP3 Herpetofauna dikumpulkan oleh koor kita tercinta Mbak Pipin (koor 2012/2013) di Aula  Fakultas Kehutanan UGM dalam rangka pemilihan koor baru untuk periode 2013/2014. Acaranya meski terlihat sederhana tetapi sangat meriah, karena nuansa kekeluargaan yang sangat kental dan keakraban yang ada membuat semuanya merasa nyaman dan tanpa ada perasaan tegang dan canggung sedikitpun. Gak ada namanya gap (jarak) antar angkatan, itulah yang membuat KP3 Herpetofauna sangat menyenangkan dan meskipun begitu kami yang junior tetap menaruh rasa hormat kepada yang lebih senior sebagaimana mereka juga senantiasa membimbing kami.
Perwakilan dari setiap angkatan hadir di acara ini mulai dari angkatan 2009 sampai angkatan 2012 dengan rincian yang hadir yaitu Mbak Dayu (2009), Mbak Pipin, Mbak Febri dan Mbak Via (2010), Arok, Dayat, Rulfie, Chiko, Ikhwan, Yuniar, Siti dan Nadia (2011) dan 3 orang perwakilan dari 2012.
Dalam pemilihan koor sendiri terlaksana dengan cara mufakat, dan itu sesuai dengan apa yang kita inginkan. Berhasilnya pemilihan secara mufakat , maka pemilihan secara voting pun tidak terjadi (dapat dihindari), karena voting sendiri menurut ku adalah sebuah opsi terakhir jika pemilihan dengan cara musyawarah/mufakat tidak dapat tercapai. Selain itu dampak voting sendiri tidak baik, mengapa ??? karena didalam voting aku rasa masih ada segelintir orang yang masih merasa kurang puas dengan ketua yang terpilih karena sebelumnya mereka tidak memilih dia .
Sebelum ada mufakat besar, kami terlebih dahulu diskusi dengan teman seangkatan dengan tujuan menyatukan pandangan dan saling berbagi opini mengenai tentang siapa calon yang pantas untuk menjabat sebagai koor KP3 Herpetofauna yang baru. diskusi kecil ini sendiri sekitar 5-10 menit, dan setelah selesai kami langsung berkumpul kembali membentuk satu lingkaran besar. Kemudian, perwakilan masing-masing angkata menyuarakan pendapatnya di forum tersebut. Dari 2009-2012 ternyata semua sepakat memilih saudara Arok untuk menjadi koor yang baru dengan berbagai pertimbangan, seperti dari angkatan 2012 mereka pertimbangannya yaitu “meskipun kami masih buta akan KP3 Herpetofauna, tapiuntuk pemilihan koor kali ini kami memilih mas Arok, karena mas Arok sering muncul atau terlihat baik itu saat pengamatan maupun materi ”, dari 2011 , aku mewakili temen-temen dengan pertimbangan yaitu “ kami memilih Arok karena menurut kami Arok berkompeten di bidang ini (herpetofauna), dan juga sering aktif dikp3 ini” kemudian perwakilan dari 2010 dan 2009 juga menyatakan pertimbangan pertimbangannya.
Hasil musyawarah/mufakat ini menghasilkan calon tunggal dan semua setuju agar saudara Arok menjadi koor KP3 Herpetofauna yang baru. Dan tak lupa mbak Dayu juga menitip pesan agar kedepannya KP3 Herpetofauna lebih baik lagi dari kepengurusan tahun-tahun sebelumnya, juga berpesan agar kepengurusan tahun ini dapat meneruskan proker dari tahun sebelumnya yang belum terlaksana dan agar para herpetofauner senantiasa memberi kontribusi dalam artian ‘mending’ KP3 Herpetofauna sekarang ini anggotanya 5 orang tapi aktif semua dari pada anggotanya 20 tapi Cuma satu, atau dua orang saja yang aktif. Mbak Pipin juga berpesan kepada para anggota agar jika di hubungi (sms) sama koornya hendaknya di balas agar koor bisa segera mengetahui apa yang harus dilakukan, karena KP3 Herpetofauna itu bukan milik koordinator saja, tetapi KP3 Herpetofauna itu milik kita semua, jadi koordinator butuh suara kita semua. Dan terakhir Arok, selaku koor terpilih juga meminta agar teman-teman semua yang sudah dilantik (ditandai dengan mendapatkan nomor KP3 Herpetofauna) mau membantunya demi kesuksesan kepengurusan tahun ini, dan juga ia tidak ingin hanya dia saja yang berkompeten di bidang ini, namun juga berharap agar teman-teman yang lain juga dapat berkompeten juga.
Di acara terakhir ditandai dengan penyematan PIN kepada anggota KP3 Herpetofauna yaitu dari angkatan 2011 semua, dan juga penyerahan simbolik dari Mbak Pipin kepada Arok sebagai tanda pergantian kepengurusan. Acara ini sendiri selesai pada pukul 22.30 WIB.
Berikut ada beberapa rekam peristiwa saat musyawarah ...

 suasana saat musyawarah.. 
 semua tampak fokus dan mengikuti jalannya musyawarah dg hikmat
Ekspresi wajah serius
Persiapan menunggu detik2 penerimaan anggota
 " Penyematan pin  anggota"
Rizky Hidayat
 Rulfie Aldi Cahyadi
 Ikhwanudin Rofi'i
 Chiko Tamtama
 Yuniar Putri Amabel
 Siti Harjanti
 Nadia Fitri Sunaryo
* Fikri Al-Mubarok 
 Selamat kepada sdr. Arok *sebagai koor terpilih
Inilah yang mendapatkan nomor keanggotaan KP3 Herpetofauna 
dari Kiri ke kanan ( Yuniar, Chiko, Rulfie, Arok, Ikhwan, Dayat, Nadia, dan Siti )
tepat pukul 22.30 wib acara selesai 

Diakhir tulisan ini, ada beberapa hal penting yang akan disampaikan terkait pergantian kepengurusan ini, yaitu mengenai kesan dari saudara Arok sebagai koordinator terpilih dan gebrakan-gebrakan apa saja yang akan dilakukan dikepengurusan kali ini.
Kesan dari saudara Arok setelah terpilih menjadi koor baru untuk periode 2013/2014 yaitu bangga, karena bisa dipercaya sama temen-temen untuk mengkoordinir KP3 Herpetofauna, dan juga bangga karena temen-temen di KP3 Herpetofauna sekarang ini lebih aktif serta memiliki visi misi yang sama yaitu untuk mendukung kemajuan KP3 Herpetofauna ini.
Saudara Arok juga akan melakukan beberapa  gebrakan penting dikepengurusannya kali ini. Gebrakan  yang akan dilakukan diantaranya yaitu untuk membentuk suasana keakraban di dalam KP3 Herpetofauna itu sendiri agar semua yang ada didalam KP3 Herpetofauna ini bisa maju bersama , dan harapannya dengan semua bergerak maju bersama , maka akan lebih memudahkan dalam koordinasi serta ingin membawa nama KP3 Herpetofauna ini lebih jauh keluar lagi tidak hanya dilingkup Fakultas Kehutanan saja. Amiiiiin.