Tampilkan postingan dengan label Kunjungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kunjungan. Tampilkan semua postingan

9 November 2013

Kunjungan KP3 Wetlands di Pantai Baros


Semester genap kemarin, anggota KP3 Wetlands melakukan pengamatan di Baros yang terletak di Desa Tirtoharjo, Pandak, Bantul, Yogyakarta. Salah satu daya tarik kami memilih tempat ini adalah keberadaan  “taman” mangrovenya. Alasan penamaan taman dan bukan hutan, karena dari kondisi lokasi yang terlihat, dapat dikatakan tidak cocok untuk disebut sebagai hutan, karena ekosistem disana tidak menunjukkan sebuah ekosistem hutan mangrove.
Perjalanan kami tempuh ± 1 jam dari kampus. Sesampainya dilokasi, kami disambut oleh Mas Dwi, Ketua Keluarga Pemuda-Pemudi Baros. Keluarga Pemuda-Pemudi Baros  atau biasa disingkat dengan KP2B merupakan  perkumpulan pemuda-pemudi yang  mempunyai tugas untuk mengelola taman mangrove di Baros.
Dari pemaparan Dwi, kami memperoleh beberapa keterangan tentang Pantai Baros. Taman mangrove di Baros dibangun pada tahun 2003. Pembangunan taman mangrove ini diprakarsai oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) RELUNG, sebuah LSM dari Fakultas Kehutanan UGM. Pengelolaan taman mangrove kemudian diserahkan kepada KP2B pada tahun 2005. Mas Dwi menjelaskan bahwa tujuan awal dari dibangunnya taman Mangrove di Baros adalah untuk melindungi tanaman pertanian yang sering terkena pasang air laut. Sayangnya, banyak kendala yang dihadapi oleh KP2B dalam usaha pembangunan taman mangrove mulai dari susahnya memperoleh bibit yang unggul sehingga menyebabkan kegagalan penanaman, hingga adanya serangan penyakit pada musim-musim tertentu.
Jenis tanaman mangrove yang ada di Baros bervariasi dengan dominasi Rhizophora sp., Avicennia, Nypa, Soneratia, serta tumbuhan bawah derujon yang merupakan jenis endemik. Pengelolaan Pantai Baros dapat dikatakan berhasil karena telah ditemukannya ikan glodok, salah satu jenis ikan yang hanya bisa ditemui di daerah mangrove. Bentuk pengelolaan yang dilakukan di Pantai Baros meliputi penanaman, sarana wisata, serta dibukanya kesempatan untuk melakukan penelitian.  Hasil dari penelitian biasanya diperuntukkan untuk pengelolaan di Baros. Di Baros terdapat pula tambak kepiting, namun yang paling banyak dibudidayakan adalah kepiting soka.
Pada tahun 2012 silam, pernah diselenggarakan kegiatan penanaman dengan 37.000 bibit. Sayangnya, penanaman gagal karena timing-nya tidak tepat, yaitu di waktu air sedang pasang. Penanaman biasanya dilakukan oleh masyarakat maupun instansi pendidikan dari Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi, dan pemerintah baru memberikan perhatian kepada masyarakat apabila masyarakat sendiri yang melakukan aksi. Sebelumnya, pemerintah sama sekali tidak memberikan bantuan. Namun, sekarang banyak pihak yang membantu pengelolaan, baik dari pemerintah maupun LSM. Dari pengelolaan ini, Desa Tirtiharjo mendapat keuntungan mencapai sekitar 240 juta”, jelas Mas Dwi.
Kendala yang dialami KP2B dalam mengelola hutan mangrove bukan hanya dikarenakan kurangnya sarana prasarana. Justru kendala yang lebih sering menghambat adalah musim, kendala alami yang sulit untuk diatasi. Permasalahan tidak hanya dialami ketika musim hujan, tetapi juga ketika musim kemarau. Saat musim kemarau, lumut menjadi banyak karena air bening dan sinar matahari dapat menembus air. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan mangrove tidak bagus. Pernah suatu ketika, lumut sampai menutupi seluruh permukaan Sungai Opak. Kemarau juga membawa akumulasi pasir yang dibawa oleh angin. Musim hujan membawa permasalahan lebih banyak lagi, yaitu pasang yang lebih tinggi. Karena pasang tinggi, pasir terbawa arus dan menutup sungai. Hal ini ditanggulangi dengan mengeruk pasir yang terbawa arus agar tidak terjadi banjir dan air dapat mengalir ke laut. Saat pasang besar, bahkan alat keruk tidak berani masuk karena bahaya yang besar. Pada musim ini yang paling rutin adalah kedatangan banjir.
Pengelolaan dari segi wisata belum dapat dimaksimalkan, karena tujuan awal pengelolaan taman mangrove ini bukan untuk objek wisata. Namun, untuk kunjungan wisata, KP2B juga menyiapkan sarana perahu dan tempat camping. Seringkali pengunjung yang datang berasal dari kalangan instansi pendidikan. Mereka biasanya melakukan penelitian jenis, seperti penelitian tentang peningkatan jumlah individu dari berbagai spesies flora maupun fauna. Dari hasil penelitian, pengelola memaparkan bahwa jenis yang mengalami pertambahan paling banyak adalah burung. (Nurul_KP3 Wetland)

4 Juni 2013

Kunjungan KP3 Herpetofauna ke Samas


“ saya disini ya, berusaha semampu saya  untuk mengelola tempat ini mas, alhamdulilah sekarang kerjaannya jadi lebih ringan karena  masyarakat sudah mulai peduli dengan tempat pembesaran tukik ini…” 

Itu adalah salah satu cuplikan wawancara kami (rombongan KP3 Herpetofauna ) dengan Bapak Rujito, selaku pengelola Tempat pembesaran tukik di Samas, saat kami berkunjung disana kemarin hari minggu, 2 Juni 2013.

Kunjungan ini merupakan realisasi dari materi minggu lalu tentang “Testudinata” yang disampaikan oleh Mbak Febri (KSDH 2010). Kunjungan ke Samas kali ini diikuti oleh 25 orang dengan rincian 15 orang dari anggota KP3 H dan 10 lainnya berasal dari luar KP3 H , seperti Roi dan Rena yang berasal dari KP3 Wetland. Sebelum berangkat menuju lokasi kami melakukan briefing sebentar di Tamtim , kemudian setelah selesai briefing sekitar jam 14.00 WIB kita bersama-sama berangkat. Meski diawal perjalanan turun hujan, tapi tidak menyurutkan niat kami untuk tetap melanjutkan perjalanan kesana.

Singkat cerita sekitar  kurang lebih satu jam kemudian kami sampai di rumah Bapak Rugito dan langsung menuju ke lokasi tempat pembesaran tukik yang jaraknya sekitar 20 meter dari rumah beliau. 5 menit kemudian Bapak Rugito langsung menuju ke tempat pembesaran tukik yangkami kunjungi. Beliau langsung saja mempersilahkan kami untuk bertanya mengenai tempat ini dan beliau dengan senang hati menjawabnya.
***

Asal mula tempat ini ada yaitu berawal pada tahun 2002 dengan di bentuknya Forum Konservasi Penyu Bantul . Untuk dana dan prasarana yang ada dilokasi ini berasal dari BKSDA dan donator-donatur yang peduli tentang penyu. Selain itu diawal-awal rehapan tempat ini juga dibantu oleh WHH. Kemudian pada tahun 2012, tempat ini mendapat sedikit angin segar, karena adanya anggaran jasa pengganti telur untuk tempat ini. Besarnya anggaran telur ini diberikan sebesar Rp 100.000,- per bulannya. Namun meskipun dana tersebut cukup membantu , sayangnya dana tersebut pemberiannya dengan cara dirapel, jadi cairnya setiap 4 bulan sekali.  Untuk lokasi pembesaran tukik , selain ditempat ini, juga ada di tempat lain yaitu seperti di Waru dan Pandan Simo.Untuk awal pembangunan tempat pembesaran / konservasi tukik ini meski diberi dana dalam jumlah yang banyak, namu hal itutidak menjamin keberlangsungan tempat tersebut selalu ada. Kita harus benar-benar peduli dan mau merawat tempat tersebut dengan begitu keberadaan tempat seperti pembesaran tukik ini dapat terjamin.

Disini selain sebagai tempat pembesaran tukik, juga merupakan tempat untuk penetasan telur tukik. Penetasan telur disini merupakan semi alami. Pembesaran tukik disini biasanya sampai tiga bulan, namun terkadang untuk kepentingan pendidikan dan terkadang juga permintaan dari BKSDA untuk menahan penyu agak lama dilokasi pembesaran tukik ini, sehingga terkadang setelah enam bulan  atau bahkan satu tahun tukik baru dilepas.

Untuk mengetahui kapan penyu itu mendarat dan bertelur, ternyata Bapak Rujito ini sudah sangat berpengalaman dan sudah tahu betul kapan waktunya dan didaerah mana lokasi telur penyu itu berada. Usut punya usut, ternyata bapak Rujito ini dulunya seorang pemburu telur penyu. Namun setelah menyadari bahwa hal yang dilakukan itu bertentangan dan jika dihitung secara matematis justru merugikan, beliau menghentikan kegiatan tersebut. Merugikan disini karena beliau mengumpulkan banyak telur kemudian memberikannya ke BKSDA , upah yang diterima ternyata sedikit, beliau bercerita hanya sekitar Rp 50.000,- sampai Rp 100.000,- . sedangkan resiko yang harus dihadapi sangatlah besar, selain itu juga dari pihak BKSDA nya juga meminta para pemburu yang sebelumnya mengumpulkan telur tersebut, harus melepaskan telur yang menetas tadi.

Di Samas ini , pernah ada 4 jenis penyu yang mampir disini. Penyu tersebut yaitu penyu lekang, sisik, hijau dan belimbing. Penyu lekang adalah penyu yang paling sering mampir disini , sedangkan penyu yang jarang mampir yaitu penyu sisik. Mengapa ??? Karena penyu sisik menyukai karang, dan di Samas jauh dari karang. Penyu belimbing dan penyu hijau sering mampir pada awal januari sampai akhir februari, dan untuk jenis penyu lekang sering mampir pada bulan mei sampai agustus.

Penyu yang ada dilokasi saat ini ada 4 ekor, beberapa minggu sebelum kunjungan kami, ditempat ini baru saja melepas satu ekor penyu lekang. Dan program pelepasan penyu ini juga akan dilakukan , rencananya pada bulan juli besok bersama BKSDA. Untuk kendala yag dihadapi dalam pengelolaan ini, terkait masalah dana, juga mengenai masalah makan dan juga air. Untuk makan sendiri setiap harinya Pak Rujito harus menyediakan ikan , untuk masalah air, yaitu air untuk tempat penyu ini harus diganti setiap 4 hari sekali. Dulu beliau memang cukup kesulitan dan kerepotan mengenai masalah air ini, namun sekarang ini masalah tersebut mulai mendapat pencerahan, karena masyarakat sekitar terutama para pelajar didaerah tersebut mulai menyadari pentingnya keberadaan penyu dan karena itu mereka saling bahu membahu membantu pekerjaan pak Rujito untuk mengganti air .



Foto bareng pak Rujito di lokasi kolam pembesaran tukik @Samas

Penyu lekang di tempat pembesaran tukik


Demikian kunjungan yang kami lakukan kali ini, semoga kita dapat mengambil hikmah dari kegiatan atau kunjungan kali ini. (Ikhwan_KP3H)

Quote :

mungkin kamu bisa mendapat ilmu dari dalam kelas, namun ketika kamu bisa mendapatkan ilmu itu secara langsung dilapangan dan dari sumber ilmunya langsung, maka betapa beruntungnya kamu bisa mendapatkan itu semua, dan yang harus kita lakukan adalah bersyukur dan berusaha memahami kondisi yang terjadi disekitar kita dan berusaha mengamalkan ilmu yang sudah kita punya ”.

Ikhwan, 4 Juni 2013