4 Januari 2014

Selamatkan Penyu untuk Warisan Anak Cucu

Panitia Semnas Konservasi Penyu_KP3 Herpetofauna FKT UGM
Kondisi dan keberadaan penyu Indonesia yang kian memprihatinkan membuat Kelompok Pengamat Peneliti Pemerhati Herpetofauna (KP3 Herpetofauna) Fakultas Kehutanan UGM berinisiasi menyelenggarakan kegiatan Seminar Nasional bertema “Konservasi Penyu di Indonesia: Problematika dan Usaha Penyelamatan Penyu Sebagai Warisan Anak Cucu” Selasa, 10 Desember 2013 di Auditorium Fakultas Kehutanan UGM. Seminar tersebut menghadirkan empat pembicara dari empat perspektif stakeholder konservasi penyu yaitu Prof. Dr. Djoko T. Iskandar dari peneliti (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Ruri Epilurahman S.Si dari akademisi (Dosen Biologi UGM), Titis Firtiyoso HP, SP. dari pemerintah (BKSDA Yogyakarta), dan Dr. Hiltrud Cordes dari LSM Turtle Foundation Germany.
Seminar Nasional ini dihadiri oleh akademisi dan pemerhati penyu termasuk di dalamnya kelompok studi dari Fakultas Biologi UGM, Fakultas Biologi Atmajaya, LSM Reispirasi, LSM Hijau, masyarakat peduli penyu yang diwakili oleh Pak Rudjito dari penangkaran penyu Pantai Samas.
Mengapa penyu? Sesuai dengan tema yang diusung, Seminar Nasional ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan mengenai kondisi penyu terkini di Indonesia, permasalahan yang menyangkut pelestarian penyu, dan cara konservasi yang dilakukan dari stakeholder terkait yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menjaga kelestarian penyu untuk masa depan.
Prof. Djoko T. Iskandar 
Penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa penyu merupakan satwa yang sangat rentan terhadap penyakit. Dalam 50 tahun terakhir populasinya menurun lebih dari 80%. Hal ini menjadi sorotan bagi pemerhati penyu sekaligus menjadi tantangan untuk terus melestarikan keberadaannya lewat konservasi penyu, khususnya di Indonesia.
Berbagai hambatan dalam konservasi penyu seperti maraknya konsumsi telur penyu akibat anggapan masyarakat mengenai khasiat dalam telur penyu sebagai peambah vitalitas ternyata mendorong peningkatan konsumsi telur penyu dan turut menyebabkan populasi penyu semakin berkurang. Disinilah peran peneliti diuji, melakukan studi kasus mengenai hal tersebut serta menginformasikan kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga telur-telur tersebut menjadi suatu kewajiban. “Pengontrolan terhadap populasi penyu beserta telurnya sangat sulit dan pengetahuan masyarakat yang rendah akan pentingnya menjaga penyu
menjadi tantangan besar bagi kita semua.” ujar Djoko - peneliti LIPI. Penelitian terhadap penyu di Indonesia yang dianggap kurang menjanjikan, membuat usaha konservasi lebih banyak dilakukan oleh pihak asing. Hal ini berdampak pada kurangnya informasi berkaitan penyu yang berbahasa Indonesia.
Ruri Epilurahman, S.Si
Rury, Dosen Fakultas Biologi UGM sebagai akademisi yang berkecimpung di bidang Herpetofauna mengatakan, upaya konservasi dapat dilakukan lewat pendidikan lingkungan, penelitian mahasiswa mengenai perilaku, genetika, embriologi, habitat, fisiologi dan anatomi, serta reproduksi penyu. Selain itu juga dapat dilakukan lewat pengabdian di masyarakat berupa monitoring, Forum Group Discussion dan pendampingan, serta advokasi.
Pak Titis_BKSDA Yogyakarta
Tidak jauh berbeda, pihak pemerintah yang diwakili BKSDA Yogyakarta, Titis menyampaikan usaha dalam melindungi penyu dari kepunahan dilakukan dengan penangkaran serta sosialisasi UU dan peraturan yang mengatur tentang pelestarian penyu kepada masyarakat, pendidikan konservasi pada siswa Sekolah Dasar, monitoring dan pengamanan habitat saat penyu bertelur, serta pendampingan kelompok masyarakat peduli penyu seperti salah satu kelompok yang dipelopori Rudjito di Pantai Samas.
Usaha konservasi penyu yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat ternyata tidak mau kalah dalam menggaet masyarakat dalam melakukan pelestarian penyu pra kepunahannya seperti salah satunya
Dr. Hiltrud Cordes_Turtle Found. Germany
Turtle Foundation Germany. Salah satu perwakilannya, Dr. Hiltrud Cordes yang telah berpengalaman dalam pendeteksian lubang telur penyu dan usaha konservasi lain di Berau menyatakan bahwa konservasi penyu merupakan hal riskan karena dengan perlakuan yang salah maka keberadan penyu akan terancam. Berbeda dengan sistem pemerintah yang melakukan penangkaran ternyata lembaga berasal dari Jerman ini mengakui bahwa perlakuan alami lebih besar kontribusinya terhadap persen hidup penyu di kemudian hari. Lembaga Swadaya ini menginspirasi para peserta Seminar Nasional untuk terus memperhatikan dan ikut mengkonservasi penyu di Indonesia.

Pada akhirnya, konservasi penyu memang merupakan hal penting yang dilakukan dan dibutuhkan kreativitas di dalamnya terutama dalam penggalian isu terkini penyu. Mengenai kurangnya literatur berbahasa Indonesia dapat disiasati dengan meningkatkan penelitian oleh peneliti lokal terhadap penyu sehingga kesalahpahaman terkait upaya pelestarian penyu dapat diluruskan. Pemahaman mengenai pentingnya melestarikan penyu harus ditanamkan sedini mungkin.
Antusiasme Peserta Semnas Konservasi Penyu
Seminar Nasional ini berlangsung lancar dan sarat oleh antusias peserta yang terlihat saat sesi diskusi ditandai dengan banyaknya pertanyaan dan tanggapan dari mereka. Harapan ke depan setelah Seminar Nasional ini dilaksanakan yaitu seluruh komponen pelaku pelestarian penyu tentu harus bersama-sama menyatukan perspektifnya dan segera bergerak. “Karena dunia milik kita dan kita yang tentukan, stop bicara dan banyaklah bertindak", ujar Titis narasumber dari BKSDA Yogya.
(Ikhwan & Yuniar_KP3H)

9 November 2013

Kunjungan KP3 Wetlands di Pantai Baros


Semester genap kemarin, anggota KP3 Wetlands melakukan pengamatan di Baros yang terletak di Desa Tirtoharjo, Pandak, Bantul, Yogyakarta. Salah satu daya tarik kami memilih tempat ini adalah keberadaan  “taman” mangrovenya. Alasan penamaan taman dan bukan hutan, karena dari kondisi lokasi yang terlihat, dapat dikatakan tidak cocok untuk disebut sebagai hutan, karena ekosistem disana tidak menunjukkan sebuah ekosistem hutan mangrove.
Perjalanan kami tempuh ± 1 jam dari kampus. Sesampainya dilokasi, kami disambut oleh Mas Dwi, Ketua Keluarga Pemuda-Pemudi Baros. Keluarga Pemuda-Pemudi Baros  atau biasa disingkat dengan KP2B merupakan  perkumpulan pemuda-pemudi yang  mempunyai tugas untuk mengelola taman mangrove di Baros.
Dari pemaparan Dwi, kami memperoleh beberapa keterangan tentang Pantai Baros. Taman mangrove di Baros dibangun pada tahun 2003. Pembangunan taman mangrove ini diprakarsai oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) RELUNG, sebuah LSM dari Fakultas Kehutanan UGM. Pengelolaan taman mangrove kemudian diserahkan kepada KP2B pada tahun 2005. Mas Dwi menjelaskan bahwa tujuan awal dari dibangunnya taman Mangrove di Baros adalah untuk melindungi tanaman pertanian yang sering terkena pasang air laut. Sayangnya, banyak kendala yang dihadapi oleh KP2B dalam usaha pembangunan taman mangrove mulai dari susahnya memperoleh bibit yang unggul sehingga menyebabkan kegagalan penanaman, hingga adanya serangan penyakit pada musim-musim tertentu.
Jenis tanaman mangrove yang ada di Baros bervariasi dengan dominasi Rhizophora sp., Avicennia, Nypa, Soneratia, serta tumbuhan bawah derujon yang merupakan jenis endemik. Pengelolaan Pantai Baros dapat dikatakan berhasil karena telah ditemukannya ikan glodok, salah satu jenis ikan yang hanya bisa ditemui di daerah mangrove. Bentuk pengelolaan yang dilakukan di Pantai Baros meliputi penanaman, sarana wisata, serta dibukanya kesempatan untuk melakukan penelitian.  Hasil dari penelitian biasanya diperuntukkan untuk pengelolaan di Baros. Di Baros terdapat pula tambak kepiting, namun yang paling banyak dibudidayakan adalah kepiting soka.
Pada tahun 2012 silam, pernah diselenggarakan kegiatan penanaman dengan 37.000 bibit. Sayangnya, penanaman gagal karena timing-nya tidak tepat, yaitu di waktu air sedang pasang. Penanaman biasanya dilakukan oleh masyarakat maupun instansi pendidikan dari Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi, dan pemerintah baru memberikan perhatian kepada masyarakat apabila masyarakat sendiri yang melakukan aksi. Sebelumnya, pemerintah sama sekali tidak memberikan bantuan. Namun, sekarang banyak pihak yang membantu pengelolaan, baik dari pemerintah maupun LSM. Dari pengelolaan ini, Desa Tirtiharjo mendapat keuntungan mencapai sekitar 240 juta”, jelas Mas Dwi.
Kendala yang dialami KP2B dalam mengelola hutan mangrove bukan hanya dikarenakan kurangnya sarana prasarana. Justru kendala yang lebih sering menghambat adalah musim, kendala alami yang sulit untuk diatasi. Permasalahan tidak hanya dialami ketika musim hujan, tetapi juga ketika musim kemarau. Saat musim kemarau, lumut menjadi banyak karena air bening dan sinar matahari dapat menembus air. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan mangrove tidak bagus. Pernah suatu ketika, lumut sampai menutupi seluruh permukaan Sungai Opak. Kemarau juga membawa akumulasi pasir yang dibawa oleh angin. Musim hujan membawa permasalahan lebih banyak lagi, yaitu pasang yang lebih tinggi. Karena pasang tinggi, pasir terbawa arus dan menutup sungai. Hal ini ditanggulangi dengan mengeruk pasir yang terbawa arus agar tidak terjadi banjir dan air dapat mengalir ke laut. Saat pasang besar, bahkan alat keruk tidak berani masuk karena bahaya yang besar. Pada musim ini yang paling rutin adalah kedatangan banjir.
Pengelolaan dari segi wisata belum dapat dimaksimalkan, karena tujuan awal pengelolaan taman mangrove ini bukan untuk objek wisata. Namun, untuk kunjungan wisata, KP2B juga menyiapkan sarana perahu dan tempat camping. Seringkali pengunjung yang datang berasal dari kalangan instansi pendidikan. Mereka biasanya melakukan penelitian jenis, seperti penelitian tentang peningkatan jumlah individu dari berbagai spesies flora maupun fauna. Dari hasil penelitian, pengelola memaparkan bahwa jenis yang mengalami pertambahan paling banyak adalah burung. (Nurul_KP3 Wetland)